Menurut Soeripto –mantan Kabakin- bahwa
bom tersebut merupakan pekerjaan intelijen. Menurutnya situasi
Indonesia saat ini, yang sangat memungkinkan adalah inteligen
professional. Soeripto tidak yakin bom tersebut diprakarsai oleh
teroris. Karena teroris di Indonesia hampir tidak lagi berjalan
pasca-Abubakar Ba'asyir ditangkap.
Sementara
pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria
Samego menjelaskan, di negara seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara,
bom sering dipergunakan sebagai alat represif. Hal tersebut merupakan
bagian dari upaya menyampaikan kehendak atau aspirasi dengan cara yang
biadab. Di Indonesia, menurutnya terjadi karena hukum tidak lagi
menjadi panglima. Hukum sering dibeli oleh kekuatan uang.
Namun
menurut ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, aksi tersebut
hanyalah aksi vandalisme belaka lebih di dorong oleh motif pribadi
dengan kalkulasi seadanya.
Mantan
ketua umum PB NU KH Hasyim Muzadi menyebut akar dari teror bom buku di
sejumlah tempat di Jakarta termasuk di markas Jaringan Islam Liberal
(JIL) bervisi ideologi agama. Hasyim melihat aksi teror menunjukkan
adanya pertarungan Islam garis keras dengan liberal. Menurutnya ada dua
kelompok ekstrem yang masuk di Indonesia yaitu, ekstrem keras kanan (tatorruf tasyadudi), dan ekstrem lunak/liberal pro barat (tatorruf tasahuli).
Ekstrem keras, sedikit-sedikit bilang, bunuh, serang, kafir dan
sebagainya sementara ekstrem lunak atau liberal sering menggugat al
Qur’an dan Nabi Muhammad dengan menyatakan tidak maksum, al Qur’an
perlu direvisi dan lainnya.
Sementara
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai
mensinyalir pelaku bom buku merupakan satu jaringan dengan jaringan
terorisme yang selama ini ada.Menurutnya hal tersebut merupakan
perbuatan jaringan teroris yang selama ini beroperasi.
Sayangnya,
jika disebut pelakunya teroris, kekritisan kita hilang. Persoalan nanti
terbukti atau tidak, itu masalah lain. Yang jelas dengan menyebut
pelakunya teroris sudah ada justifikasi siapa yang harus disalahkan.
Fenomena ‘kambing hitam’ ini bukanlah hal baru. Pada masa Orde baru,
ada istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan menunjuk
kepada kaum muslimin yang dianggap radikal. Sementara ekstrem kiri
menunjuk orang-orang PKI yang dicitrakan bengis, kejam dan banyak
berbuat kerusakan.
Bukan
hanya itu, orang yang dituduh PKI mengalami banyak kesulitan di
masyarakat. Baik ekonomi, sosial maupun politik. Secara ekonomi mereka
akan dibatasi. Tidak boleh memperoleh hak-hak ekonomi yang layak.
Secara sosial, ada semacam hukum ‘pengucilan’ dan menempatkan bukan
bagian dari masyarakat yang masing-masing mempunyak hak dan kewajiban
sebagai akibat interaksi sosial. Secara politik, mereka tidak boleh
bergabung dengan partai politik. Hak-hak politiknya harus dipangkas,
bahkan dihabisi.
Lagi-lagi geger bom buku ini menghilangkan tsunami Wikileaks yang menuduh SBY menyalahgunakan kekuasaannya. Hal ini terjadi setelah headline dua media berpengaruh di Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald
memberitakan tuduhan terhadap Presiden SBY yang dianggap telah
melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik. Berita
tersebut diperoleh dari sumber kawat diplomatik AS yang bocor,
Wikileaks.
Bukan sekedar menuduh SBY, The Age juga menyebut Ibu Ani Yudhoyono mempunyai
peran aktif dalam mempengaruhi kebijakan politik suaminya. Ani
Yudhoyono juga disebut mempunyai hubungan baik dengan para pengusaha,
termasuk pengusaha kaya Tomy Winata. Nampaknya, tsunami Wikileaks ini
harus berpindah menjadi geger bom buku.[muslimdaily.net]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar