Minggu, 20 Mei 2012

Siapa yang membodohi kita tentang SEJARAH..?







Tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional didasarkan atas
peristiwa berdirinya Boedi Oetomo. Sedangkan para tokoh BO (Boedi
Oetomo) adalah pengikut Theosofi (sebuah perkumpulan kebatinan yang
berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi), anggota Freemasonry dan
Melecehkan Islam.
Sistem pendidikan yang dianut dalam BO (Boedi Oetomo) sendiri
adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan
pemerintah Kolonial, hal ini karena para pemimpinya digaji oleh
pemerintah Belanda.
Dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa
Belanda, bukan bahasa Indonesia. "Tidak pernah sekalipun rapat Boedi
Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang
merdeka.
BO tidak memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan,
karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk
mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan
BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang
kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
· Sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok Theosofi
bernama Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut
Candi Borobudur sebagai "Baitullah di Tanah Java". Theosofi
menganggap, antara ke Baitullah di Makkah dan Baitullah di Tanah Java
sama saja nilainya. Majalah Bangoen yang dikelola oleh aktivis
Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat pelecehan terhadap
istri-istri Rasulullah dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat
kabar bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh para penganut kebatinan
Theosofi juga melakukan pelecehan terhadap pribadi Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8 dan 11 Januari 1918, Djawi
Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel yang menyebut
Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.

· "Suara Umum", sebuah media massa milik Boedi Oetomo di
bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di
dalam Majalah "Al-Lisan" terdapat tulisan yang antara lain berbunyi,
"Digul lebih utama daripada Makkah", "Buanglah ka'bah dan jadikanlah
Demak itu Kamu Punya Kiblat!" (Al-Lisan nomor 24, 1938).

Tanggal 20 Mei Negara Republik Indonesia memperingatinya sebagai
Hari Kebangkitan Nasional. Namun sebenarnya penentuan tanggal ini
meninggalkan permasalahan yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dalam menegakkan kemerdekaannya. Tidak banyak diungkap
secara lebih lengkap dalam buku-buku pendidikan sejarah di sekolah
bahwa sebenarnya penentuan tanggal 20 Mei yang didasarkan atas
peristiwa berdirinya Boedi Oetomo meninggalkan banyak masalah,
khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Permasalahan itu antara lain :

Boedi Oetomo adalah organisasi yang bersifat Jawa-Madura sentris,
sama sekali bukan organisasi yang bersifat kebangsaan. Tujuan Boedi
Oetomo didirikan adalah untuk menggalang kerjasama guna memajukan
tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Sistem pendidikan
yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO
sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial, hal ini karena
para pemimpinya digaji oleh pemerintah Belanda.

KH Firdaus AN (Mantan Majelis Syuro Syarikat Islam) mengungkapkan
"…Boedi Oetomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya
orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang betawi
saja tidak boleh menjadi anggotanya". Selain itu dalam rapat-rapat
perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa
Indonesia. "Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang
kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya
membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura
di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya
sendiri". KH Firdaus AN juga mengatakan "BO tidak memiliki andil
sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai
negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang
dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta
mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah
bubar pada tahun 1935."

Asvi Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai penetapan tanggal lahir
BO sebagai Hari Kebangkitan Nasional tidak layak. Hal ini karena BO
tidak bisa disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional. Menurutnya,
BO bersifat kedaerahan sempit. "Hanya meliputi Jawa dan Madura saja".
Boedi Oetomo yang oleh banyak orang dipercaya sebagai simbol
kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan lembaga yang
mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran
politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah
kebangkitan.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh peneliti Robert van Niels yang
mengatakan, "Tanggal berdirinya Budi Utomo sering disebut sebagai Hari
Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena
Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan
Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat
dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo
menunjukkan wajah barat. "

***

Para tokoh BO adalah pengikut Theosofi, anggota Freemasonry dan
Melecehkan Islam

Penggagas organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesodo adalah anggota
Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi
Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.
Theosofi-Freemason tidak mempercayai adanya ritual doa kepada Sang
Maha Pencipta. Mereka juga tak mempercayai adanya surga dan neraka.
Anggota Theosofi yang mengaku muslim, membuat penafsiran ajaran Islam
dengan pemahaman yang menyimpang. Theosofi tidak percaya dengan doa,
dan tidak melakukan doa. Theosofi mempercayai "doa kemauan" yang
ditujukan kepada Bapak di sorga dalam artian esoteris, yaitu Tuhan
yang tidak ada sangkut pautnya dengan bayangan manusia, atau Tuhan
yang menjadi intisari ilahiah yang dimiliki semua agama. Berdoa, kata
Blavatsky mengandung dua unsur negatif: Pertama, membunuh sifat
percaya diri manusia yang ada dalam diri manusia sendiri. Kedua,
mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri. Sebuah majalah yang
diterbitkan oleh kelompok Theosofi bernama Majalah Pewarta Theosofie
Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi Borobudur sebagai "Baitullah
di Tanah Java". Theosofi menganggap, antara ke Baitullah di Makkah dan
Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya. Majalah Bangoen yang
dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat
pelecehan terhadap istri-istri Rasulullah dan syariat poligami. Selain
itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh para
penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pelecehan terhadap pribadi
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8 dan 11 Januari
1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel
yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.

Penghinaan ini yang kemudian memunculkan Tentara Kanjeng Nabi
Muhammad di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto dimana salah satu
anggotanya adalah KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

Tokoh utama BO adalah Dokter Soetomo. Dalam buku "Kenang-kenangan
Dokter Soetomo" yang dihimpun oleh Paul W van der Veur, disebutkan
bahwa Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan, "Itulah
sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama
darah dalam segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar."
(hal. 30). Soetomo juga mengatakan, "Aku dan Dia satu dalam hakikat,
yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…" (hal.31).
Ini menunjukkan Dokter Soetomo seorang penganut paham sesat
"Manunggaling Kawula Gusti" buatan Syech Siti Jenar. Dokter Soetomo
juga seorang penganut Theosofi, sebagaimana pengikut aliran theosofi
lainnya, maka dia tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya umat
Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan
sebagainya. "Soetomo lebih mementingkan "semedi" untuk mendapat
ketenangan hidup, ketimbang sholat. Dengan rasa bangga, saat berpidato
dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo
mengatakan,"Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi,
jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan
Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri."

Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan
sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya "Pan-Islamisme", yaitu
bahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia,
dengan sistem dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada
1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya
mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme
yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto.

Goenawan Mangoenkoesoemo, juga melontarkan pernyataan yang
melecehkan Islam. Adik dari dr. Tjipto Mangoekoesomo ini mengatakan,
"Dalam banyak hal, agama Islam bahkan kurang akrab dan kurang ramah
hingga sering nampak bermusuhan dengan tabiat kebiasaan kita.
Pertama-tama ini terbukti dari larangan untuk menyalin Qur'an ke dalam
bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa sekali mungkin memandang itu biasa.
Tetapi seorang nasionalis yang berpikir, merasakan hal itu sebagai
hinaan yang sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah itu kurang
patut, terlalu profan untuk menyampaikan pesan Nabi?"

Dalam buku yang sama, masih dengan nada melecehkan, Goenawan
menulis, "Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh
dipakai adalah bahasanya bangsa Arab…" "Bagaimanapun tinggi nilai
kebudayaan Islam, ternyata kebudayaan itu tidak mampu menembus hati
rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat:
"Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya", tetapi dia tidak
akan bisa berbuat apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita,
masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara
kasar oleh Demak."

Salah satu pimpinan BO yaitu Dr. Radjiman Wediodiningrat dengan
bangga mengatakan, bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para
aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut
oleh para aktivis Sarekat Islam. Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917,
ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi
ini memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas
menolaknya. Radjiman mengatakan, "Sama sekali tidak bisa dipastikan
bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya
menganut agama Islam." Radjiman yang merupakan ketua BO 1914-1915
adalah anggota Freemasonry dan perhimpunan Theosofi. Beberapa pimpinan
BO adalah anggota Freemasonry antara lain : Raden T. Tirtokusumo
(Ketua BO pertama), Bupati Karanganyar kemudian Pangeran Aryo
Notodirodjo dari Keraton Paku Alam (Ketua BO yang kedua).

Tokoh yang lain bernama Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi
Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini
alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: "Agama islam
merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus
disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan."

Ada fakta lain yang lebih mencengangkan, dalam sebuah artikel di
"Suara Umum", sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan
Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah
"Al-Lisan" terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, "Digul lebih
utama daripada Makkah", "Buanglah ka'bah dan jadikanlah Demak itu Kamu
Punya Kiblat!" (Al-Lisan nomor 24, 1938).

Kenapa bukan tanggal 16 Oktober sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?

Tanggal 16 Oktober 1905 adalah tanggal berdirinya Sarekat Islam.
SI merupakan kawah candradimuka berbagai pemikir Indonesia kelas
dunia. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno sampai
dengan Tan Malaka, Muso dan Semaun. Tokoh-tokoh ini memiliki andil
besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. SI tidak membatasi
keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Hal ini
terlihat pada susunan para pemimpinnya, Haji Samanhudi dan HOS
Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan
Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Tujuan
SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di
antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI
terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Walaupun organisasi ini
berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi
anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan
menggunakan label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa,
selebihnya telah dirampas Belanda. SI berhasil membuka 181 cabang di
seluruh Indonesia. Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun
1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang
fantastis kala itu. Jika dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya
saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang. Sejarawan Fred R.
von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah
organisasi politik nasional pertama di Indonesia.

Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan (1956), umat Islam
mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI
sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Namun
sangat disayangkan, seruan ini tidak didengar pemerintah, bahkan
sampai saat ini. Pelurusan sejarah mengenai kebangkitan Indonesia
nampaknya perlu dilakukan, sangat disayangkan kalau peran umat
terbesar di negeri ini dihilangkan begitu saja. (Dikumpulkan dari
berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More